Seorang khatib atau orang yang berkhutbah ketiga diberi kiprah untuk mengisi khutbah pada salah satu jum’at, pertama kali yang akan di lakukan yaitu mencari tumpuan untuk materi pembahasannya baik itu melalui kitab-kitab keagamaan, al-qur’an, hadits serta tumpuan lain. Namun di samping mencari materi lewat sumber-sumber di atas tidak jarang juga kalau seorang khatib mencari referensinya lewat internet atau situs-situs resmi agama islam ibarat seakan-akan situs khusus nahdhatul ulama atau yang lainnya.
Memang mencari materi dari internet, apalagi sumbernya belum di ketahui siapa admin yang mengurus dari situs tersebut, bukan hal yang sempurna untuk selalu di lakukan, karena permasalahan agama alangkah baiknya kalau pribadi pada al-quran, hadits dan kitab-kitab karangan para ulama. Tetapi kalau sudah yakin mengetahui bahwa situs tersebut benar adanya serta pengurusnya orang yang terpercaya maka tidak ada salahnya juga mencari tumpuan di sana. Seperti halnya pada salah satu situs NU Online sebagai situs resmi nahdlatul ulama.
Karena memang dalam sebuah khutbah, atau ketika harus berbicara di daerah umum selain harus berpacu pada sumber aturan tetapi di sisi lain kata-kata penjelasan pun harus gampang di terima oleh para jamaah. Maka di sinilah kiprah kami sebagai penyedia materi yang mungkin bisa di ambil oleh kalian yang membutuhkan tumpuan khutbah jum’at singkat dengan kata-kata simple namun insyaallah sanggup di terima dengan gampang oleh semua jamaah yang mendengarkannya, silahkan ambil kemudian amalkan dengan baik, dan mohon untuk di koreksi dulu karena tidak menutup kemungkinan apabila ada kesalahan di dalamnya.
Menjadi Pengajak yang Bijak
Khutbah I
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي امْتَنَّ عَلَى الْعِبَادِ بِأَنْ يَجْعَلَ فِي كُلِّ زَمَانِ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى، وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الأَذَى، وَيُحْيُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ أَهْلَ الْعَمَى، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى :أعوذ بالله من الشيطان الرجيم . وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مّمّن دَعَآ إِلَى اللّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah bercerita wacana dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras: yang satu sering berbuat dosa, sementara yang lain sangat rajin beribadah.
Rupanya si andal ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu melaksanakan dosa tak betah untuk tidak menegur. Teguran pertama pun terlontar. Seolah tak memperlihatkan imbas apa pun, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan si andal ibadah.
“Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali.
Si pendosa lantas berucap, “Tinggalkan saya bersama Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?”
Mungkin karena sangat kesal, mulut saudara yang rajin beribadah itu tiba-tiba mengeluarkan semacam kecaman:
وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ
“Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.”
Kisah ini terekam sangat terang dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di bab akhir, hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, “Apakah kamu telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kamu sudah mempunyai kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?”
Drama keduanya pun berlanjut dengan simpulan yang mengejutkan.
“Pergi dan masuklah ke nirwana dengan rahmat-Ku,” kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada andal ibadah, Allah mengatakan, “(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka.”
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering kita asosiasikan sebagai andal nirwana ternyata masalah dalam hadits itu justru sebaliknya. Sementara hamba lain yang terlihat sering melaksanakan dosa justru menerima kenikmatan surga.
Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan darul abadi sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Manusia tak mempunyai kewenangan sama sekali untuk memvonis orang atau kelompok lain sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga, dilaknat atau dirahmati. Tak ada alat ukur apa pun yang sanggup mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti.
Jika diamati, andal ibadah dalam kisah hadits di atas terjerumus ke jurang neraka karena melaksanakan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang mengambil hak Allah dengan menghakimi bahwa saudaranya “tak menerima ampunan Allah dan tidak akan masuk surga”. Mungkin ia berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki sikap saudaranya yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak Tuhan: menuding orang lain salah sembari memastikan tanggapan negatif yang bakal diterimanya.
Dalam konteks etika dakwah, si andal ibadah sedang melaksanakan perbuatan di luar batas wewenangnya sebagai pengajak. Ia tak hanya menjadi dâ‘i (tukang ajak) tapi sekaligus hâkim (tukang vonis). Padahal, Al-Qur’an mengingatkan:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik, dan bantulah mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang menerima hidayah.” (An-Nahl [16]: 125)
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (Al-Kahfi [18]: 29)
Ayat ini tak hanya berpesan wacana keharusan seseorang untuk berdakwah secara bakir dan santun melainkan menegaskan pula bahwa kiprah seseorang hamba kepada hamba lainnya yaitu sebatas mengajak atau menyampaikan. Mengajak tak sama dengan mendesak, mengajak juga bukan melarang atau menyuruh. Mengajak yaitu meminta orang lain mengikuti kebaikan atau kebenaran yang kita yakini, dengan cara memotivasi, mempersuasi, sembari memperlihatkan alasan-alasan yang meyakinkan. Urusan apakah usul itu diikuti atau tidak, kita serahkan kepada Allah subhânahu wa ta‘âlâ (tawakal).
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Kesalahan kedua yang dilakukan andal ibadah dalam kisah tersebut yaitu ia terlena terhadap prestasi ibadah yang ia raih. Hal itu dibuktikan dengan kesibukannya untuk mengawasi dan menilai sikap orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dalam tingkat yang lebih parah, sikap macam ini sanggup membawa seseorang pada salah satu adab tercela berjulukan tajassus, yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain. Apalagi, bila orang yang menjadi target belum tentu benar-benar berbuat salah. Seringkali lataran kesalahmahaman dan masalah teknis, sebuah perbuatan secara sekilas pandang tampak salah padahal tidak. Di sinilah pentingnya tabayun (klarifikasi) dalam anutan Islam.
Tentu saja memperbanyak ibadah dan meyakini kebenaran yaitu hal yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi ‘ujub (bangga diri). Ujub merupakan penyakit hati yang cukup kronis. Ia bersembunyi di balik kelebihan-kelebihan diri kemudian pelan-pelan mengotorinya. Bisa saja seseorang selamat dari perbuatan dosa tapi ia kemudian terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam, yakni ujub. Mesti diingat, menghindari perbuatan dosa memang hal yang amat penting, tapi yang lebih penting lagi bagi seseorang yang terbebas dari dosa yaitu menghindari sifat gembira diri. Sebuah maqalah bijak berujar, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.”
Watak buruk dari kelanjutan sifat ujub biasanya yaitu merendahkan orang lain. Amal ibadah yang melimpah, apalagi disertai kebanggaan dan penghormatan dari masyarakat sekitar, sering menciptakan orang lupa kemudian dengan gampang menganggap remeh orang lain. Orang-orang semacam ini umumnya terjebak dengan penampilan luar. Mereka menilai sesuatu hanya dari yang tampak secara kasat mata. Padahal, bisa saja orang yang disangkanya buruk, di mata Allah justru lebih mulia karena lebih banyak mempunyai kebaikan namun karena bukan tipe orang yang suka pamer amal itu pun luput dari pandangan mata kita.
Jamaah shalat Jumat hadâkumullâh,
Dakwah berasal dari lafadh da‘â-yad‘û yang secara bahasa semakna dengan an-nidâ’ dan ath-thalab. An-nidâ’ berarti memanggil, menyeru, mengajak; sementara ath-thalab sanggup diterjemahkan dengan meminta atau mencari. Istilah dakwah bisa didefinisikan sebagai upaya mengajak atau menyeru kepada iman kepada Allah dan segenap syariat yang dibawa Rasulullah serta nilai-nilai positif lainnya.
Dakwah sangat dianjurkan dalam Islam sebagai pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi (‘anil) munkar. Umat Islam diperintah untuk membuatkan pesan kebaikan (ma’ruf) dan tak boleh berdiam diri ketika melihat kemunkaran. Hanya saja, dalam praktiknya semua dijalankan dalam koridor yang bijaksana, sehingga usaha amar ma’ruf terlaksana dengan baik dan pencegahan kemungkaran pun tak menjadikan kemungkaran gres karena tidak dijalankan dengan cara-cara yang mungkar.
Karena itu, kita mengenal dalam proses dakwah dua hal, yaitu isi dakwah dan cara dakwah. Terkait isi, dakwah mempunyai lingkup yang sangat luas, dari masalah akidah, ibadah hingga adab keseharian ibarat usul untuk tidak menggunjing dan membuang sampah sembarangan. Dakwah memang bukan monopoli kiprah seorang dai, siapa pun bisa menjadi pengajak, namun dakwah menekankan pelakunya mempunyai bekal ilmu yang cukup wacana hal-hal yang ingin ia serukan. Hal ini penting supaya dakwah tak hanya meyakinkan tapi juga tidak sepotong-sepotong.
Yang tak kalah penting yaitu cara. Betapa banyak hal-hal positif di dunia ini gagal menular karena disebarluaskan dengan cara-cara yang keliru. Begitu pula dengan dakwah. Dalam hal ini kita bisa berkaca kepada Rasulullah. Di tengah fanatisme suku-suku yang parah, kebejatan moral yang luar biasa, dan kendornya prinsip-prinsip tauhid, dalam jangka waktu hanya 23 tahun dia sukses menciptakan perubahan besar-besaran di tanah Arab. Bagaimana ini bisa dilakukan? Kunci dari kesuksesan revolusi peradaban itu yaitu da‘wah bil hikmah, seruan yang digaungkan dengan cara-cara bijaksana. Akhlak Nabi lebih menonjol ketimbang ceramah-ceramahnya. Beliau tak hanya memerintah tapi juga meneladankan. Rasulullah juga pribadi yang egaliter, memahami psikologi orang lain, menghargai proses, membela orang-orang terzalimi, dan tentu saja berperangai ramah dan welas asih.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah,
Khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan jamaah sekalian bahwa ada rambu-rambu dakwah yang perlu diingat, yakni jangan membenci dan merendahkan orang lain, apalagi mencaci maki dan memojokkannya. Karena kalau hal itu kita lakukan maka keluarlah kita dari motivasi dakwah sesungguhnya. Dakwah berangkat dari niat baik, untuk tujuan yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Itulah makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar menjelek-jelekan orang atau golongan lain, mungkin perlu diingatkan lagi wacana bahasa Arab dasar bahwa da’wah artinya mengajak bukan mengejek. Sehingga, dakwah mestinya ramah bukan marah, merangkul bukan memukul.
Yang paling mengerikan tentu saja yaitu dakwah dikuasai amarah dan hawa nafsu sehingga menjadikan pemaksaan dan aksi-aksi kekerasan, hanya kerena menganggap orang lain sebagai musyrik, musuh Allah, dan alhasil harus diperangi. Jika sudah hingga pada level ini, pendakwah tak hanya sudah melenceng jauh dari esensi dakwah, tapi juga pantas menjadi target dakwah itu sendiri. Al-Qur’an sudah sangat benderang menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan oleh karena itu memakai pendekatan kekerasan sama dengan mencampakkan pesan ayat suci.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عن حذيفة رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ بَهْجَتَهُ عَلَيْهِ ، وَكَانَ رِدْءًا لِلْإِسْلَامِ انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ ، وَسَعى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ ” . قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللَّهِ ! أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ الرَّامِي أَوِ الْمَرْمِيِّ ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” بَلِ الرَّامِي “
Dari Hudzaifah radliyallâhu ‘anh, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh yang paling saya khawatirkan pada kalian yaitu orang yang membaca Al-Qur’an hingga terlihat kegembiraannya dan menjadi benteng bagi Islam, kemudian ia mencampakkannya dan membuangnya ke belakang punggung, membawa pedang kepada tetangganya dan menuduhnya syirik.” Saya (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Nabi, siapakah yang lebih pantas disifati syirik, yang menuduh atau yang dituduh?” Rasulullah menjawab: “Yang menuduh.” (HR Ibnu Hibban)
Na’ûdzubillâhi mindzâlik. Semoga kita semua dilindungi Allah dari perbuatan buruk baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Tekun dalam beribadah kemudian mengajak sesamanya untuk melaksanakan hal yang serupa merupakan sesuatu yang dipuji dalam agama. Hanya saja, dakwah atau mengajak mempunyai batasan-batasan. Setidaknya ada dua tips yang bisa dipegang supaya seseorang tak melampaui batasan kiprah sebagai seorang pengajak. Pertama, muhâsabah (introspeksi). Meneliti malu orang yang paling cantik yaitu dimulai dari diri sendiri. Muhasabah akan mengantarkan kita pada prioritas perbaikan kualitas diri sendiri, yang secara otomatis akan membawa imbas pada perbaikan lingkungan sekitarnya. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, “Ashlih nafsaka yashluh lakan nâs. Perbaikilah dirimu maka orang lain akan berbuat baik kepadamu.”
Kedua, tawâdlu‘ (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk yaitu kemenangan jiwa dari harapan ego yang senantiasa merasa unggul: merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan seterusnya—yang ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam perjalanan dakwah, tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan menjadi salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini bisa kita lihat secara terang dalam usaha Nabi dan pendakwah generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga kini. Wallâhu a‘lam bish-shwâb.
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Itulah salah satu dari khutbah jum’at nu yang dikala ini gres bisa kami sajikan untuk anda gunakan di hari jum’at kapan saja. Mohon maaf apabila da kekurangan, apalagi kalau terdapat kesalahan mohon untuk di koreksi lagi, silahkan cermati dengan baik semua yang ada pada kumpulan khutbah jumat nu lengkap pendek terbaru jatim pdf singkat padat wacana bulan ramadhan bahasa jawa mencari keberkahan hidup dan lain sebagainya dan jangan lupa gunakan teks dari khutbah di atas sebaik mungkin.
EmoticonEmoticon